RIZA PRIMADI
IAIN ANTASARI BANJARMASIN
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam Al-bae ditinjau dari segi harga
Al-baedapat dikategorikan menjadi beberapa jenis diantaranya adalah MURABAHAH. Jual
beli dalam terminologi
fiqh disebut dengan al-bai'
Yang secara etimologis dapat
diartikan dengan (tukar menukar) atau (menukar
sesuatu dengan sesuatu
yang lain). Lafadz Al-ba’I
dalam bahasa Arab
terkadang digunakan digunakan
untuk pengertian lawannya,
yaitu kataasy-syira (beli) Dengan
demikian kataal-bai'ber arti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara konseptual, murabahah
sebagai salah satu
bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan
oleh kalangan ulama fiqh dan
secara operasional dia merupakan
salah satu produk
perbankan Islam diantara produk-produk yang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian murabahah ?
2. Bagaimana
konsep murabahah dalam perspektif Fiqih ?
3. Bagaimana
konsep murabahah dalam perspektif Fatwa DSN ?
Analisis fatwa dsn tentang murabahah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murabahah
I.
Murabahah Secara Bahasa
Jual beli (البيع) secara bahasa merupakan masdar
dari kata بعت diucapkanيبيع-باء bermakna memiliki
dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الباع karena
masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya
untukmengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan
dan pembelian disebut البيعا ن.
II.
Menurut
syara’
Pengertian jual beli (البيع) secara syara’ adalah
tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan[1].
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut
ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara
khusus (yang dibolehkan)”.
b. Menurut
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan”.
c. Menurut
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk
saling menjadikan milik”.
d. Tukar
menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan
sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap
e. Menukar
barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha.
f. Saling
tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul
dengan cara yang sesuai dengan syara.
g. Penukaran
benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik
dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual
beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda
dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan
mengandunghal-hal antara lain :
-
Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar
- Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu
yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
- Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi
sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
- Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua
belah pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan
adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
Dalam fatwa Dewan Syariah
nasional (DSN) No. 04 / DSN-MUI/IV/2000. Pengertian Murabahah, yaitu menjual
suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba[2].
Menurut Muhammad
Syafi’i Antonio, pengertian Bai’al Murabahah adalah jual
beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati[3].
Sedangkan menurut Imam
Nawawi: “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain untuk
dimiliki”. Dan Ibnu Qudamah, mendefinisikan jual beli sebagai pertukaran harta
dengan harta yang lain untuk dimilikkan dan dimiliki[4].
Dari
definisi murabahah atau jual beli tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa inti
jual beli tersebut adalah, untuk penjual mendapatkan manfaat keuntungan dan
bagi pembeli mendapat manfaat dari benda yang dibeli.
B. Murabahah
Dalam Perspektif Fiqih
Ibnu
Rusyid mendefinisikan murabahah sebagai berikut :
Murabahah tidak mempunyai
rujukan atau referensi langsung dari al-Quran maupun Sunnah, yang ada
hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah
hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan
bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed
mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari
Hadis. Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah,
bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah
pada awal abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-Quran
atau dalam Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah
berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada
praktek orang-orang Madinah. Ia berkata "Penduduk Medinah telah
berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan
membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang
telah disepakati.
Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa
jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata:
"Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan
orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya, maka transaksi demikian ini
adalah sah.
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu
disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1. Mengetahui
harga pokok
Dalam jual beli murabahah disyaratkan
agar mengetahui harga pokok atau harga asal, karena mengetahui harga merupakan
syarat sah jual beli. Syarat ini juga diperuntukan bagi jual beli at-tauliyyah
dan al-wadhi'ah.
2. Mengetahui
keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui
oleh si pembeli, karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga.
Sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
3. Harga pokok
merupakan sesuatu yang
dapat diukur, dihitung
dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan
penjual yang pertama atau setelahnya.
Jual beli murabahah merupakan jual
beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk
memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Atau dengan kata lain
dalam jual beli tidak diperbolehkan berkhianat. Allah SWT berfirman dalam surah
al-Anfal 27:
$pkr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä w (#qçRqèrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila
terjadi jual beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, maka dalam
hal ini ada dua pendapat ulama fiqh, yaitu: menurut ulama Hanafiyyah,
penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang, karena cacat itu
merupakan bagian dari harga barang tersebut Sementara Jumhur ulama tidak
membolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk
khianat.
Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada perbankan Islam
jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan yang menggunakan
sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan konvensional. Dalam makalah ini,
penulis akan mencoba melakukan perbandingan untuk menemukan apakah terdapat
perbedaan yang signifikan di antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama
dengan menfokuskan perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut :
1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan
Sebagaiman diketahui bahwa
ketika sebuah bank konvensional memberikan pinjaman kepada seorang debitur,
misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu, maka bunga yang dikenakan pada
pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu jatuh tempo pinjaman. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi urusan bagi
bank konvensional terkait
mengenai berapa harga barang yang akan dibeli oleh seorang nasabah. Yang
terpenting adalah bagaimana memperoleh suku bunga terkait yang sedang berlaku
(baik itu suku bunga tetap ataupun tidak tetap). Dan menjadi tanggung jawab
nasabah sendiri setelah memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu untuk
membeli barang-barang yang diperlukan berapapun harganya.
Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan syariah
melalui pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih dahulu memastikan
bahwa nasabah mengetahui total harga barang yang dibutuhkan sebelumnya.
Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan kepada nasabah tetap
memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang
akan dibeli atau tidak.
Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika ditinjau dan
dianalisa lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang berlaku di perbankan konvensional,
suku bunga yang diberlakukan adalah tergantung pada kebutuhan bank untuk
mendapatkan keuntungan riil, yang juga sangat tergantung pada kemungkinan
terjadinya inflasi di masa mendatan, preferensi likuiditas, jumlah permintaan
pinjaman, kebijakan moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri. Dan
hal itu sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan
murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktor-faktor yang
melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam untuk memperoleh
keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk kemungkinan inflasi yang akan
terjadi, perkembangan moneter, marketabilitas barang-barang yang dijual melalui
pembiayaan ini serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.
Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang perta bahwa
faktor-faktor yang melatarbelakangi penetapan suku bunga pada perbankan
konvensional juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan
mark-up dalam pembiayan murabahah. Oleh karenanya konsekuensi dari kesamaan
faktor ini adalah bahwa suku bunga dan mark-up dalam murabahah untuk penyaluran
dana-dana yang sebanding akan sama.
Untuk perbandingan yang kedua
dalam biaya dalam proses pembiayaan, memang terkadang dapat terjadi jumlah
mark-up sekilas lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga dominan, namun
perbedaan antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman sejenis umumnya tidak terlalu
jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat terjadi jika dalam
pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara borongan
sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari penyalur untuk barang
yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian ditransfer kepada para nasabah
murabahah dalam bentuk mark-up yang lebih rendah yang akan menurunkan biaya
pembiayaan nasabah. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan
pembelian barang dilakukan secara terpisah, dalam artian pembelian barang
dilakukan ketika masing-masing nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda.
dan kondisi inilah yang paling sering dan mungkin terjadi.
Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah dengan sistem
mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang berdasarkan bunga atau bahkan dapat
terjadi lebih besar (mahal). Di mana dalam pembiayaan berdasarkan penetapan
suku bunga tertentu dalam pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan
memberikan pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan
untuk menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan untuk
dibiayai. Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir atau personil
bank perlu untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan ini, di mana
dibutuhkan adanya penelitian pasar yang memakan biaya, kertas kerja yang
dihasilkan dari proses permintaan pembiayaan, melakukan kontak dengan penyalur,
penanganan dokumen ataupun melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap
perkembangan penjualan barang-barang
murabahah setelah diberikan kepada para nasabahnya.
- Resiko Dalam Pembiayaan
Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah lembaga keuangan
seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari berbagai resiko yang akan
menyertainya. Demikian jua halnya dengan pembiayaan yang dilakukan menggunakan
skim murabahah, di mana faktor pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan
menjadi alasan untuk mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini,
pembahasan mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan
pada resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti :
a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank Islam terkait
dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul dari barang yang dijual
kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli barang yang diminta oleh nasabah
murabahahnya, maka secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan
pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada
nasabah. Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik
sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah menjadi ketentuan
yang berlaku dalam hukum muamalah Islam. Seorang nasabah menurut kajian fiqih
Islam berhak menolak barang-barang yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak
sesuai dengan spesifikasi yang diberikan.
Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan dengan
kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik (lokal). Akan tetapi dalam
level perdagangan yang lebih luas (internasional), resiko-resiko semacam itu
tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya untuk
menghindari timbulnya hal-hal semacam itu,
bank Islam mengantisipasinya dengan menetapkan biaya-biaya asuransi dalam
klausul-klausul kontrak yang dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam
setiap kontrak transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya
yang harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada
pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga barang dan sebagai
dasar bagai penentapan jumlah mark-upnya.
Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar dari penetapan
suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh bank konvensional kepada
debiturnya yang memang bersifat pinjaman murni semata. Oleh karenanya, tidak
dapat dipungkiri jika di dalam pembiayaan murabahah ini markr-up yang ada
ataupun total pengembalian yang harus dikeluarkan oleh nasabah murabahah bisa
lebih besar dari suku bungan pinjaman bank konvensional.
b. Resiko yang tekait dengan
pembayaran
Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah adalah resiko
yang terkait dengan pembayaran angsuran dari nasabahnya. Karenanya untuk
menghindari resiko ini, dalam klausul kotrak tertulis yang dibuat sebagian
besar bank Islam mengharuskan adanya jaminan.
Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini atau
kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar kewajibannya, bank Islam
membedakannya sebagai berikut :
·
Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan
seorang nasabah dalam membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor di luar
kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka bank Islam secara moral
berkewajiban menjadwal ulang pembayaran hutang tersebut.
Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat
waktu dan tidak melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini menggunakan sistem
denda kepada nasabahnya, yang jumlahnya disesuaikan dengan “tingkat laba yang wajar” pada dana bank
yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya untuk menutupi peluang yang
hilang) dari modal tersebut.
Jika pelunasan
pinjaman tidak mungkin
dilakukan, maka bank Islam dalam sebagian besar
prakteknya akan menyita jaminan yang diberikan beserta barang-barang yang
diserahkan kepada nasabah. Melihat beberapa kebijakan yang
dilakukan oleh bank Islam dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari
pinjaman murabahah yang diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan apa
yang dilakukan oleh bank konvensional ketika debiturnya tidak mampu
mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai kontrak yang dibuat, seperti
adanya penjadwalan hutang ataupun semacam denda yang diberikan. Termasuk adanya
keharusan untuk mengajukan jaminan dari pinjaman yang diajukan, untuk
memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo.
3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli
Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem bunga dan
mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada kedua kontrak yang
terjadi.
Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam
hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah “hubungan kemitraan” yang
berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang dapat menghapus sifat
hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank konvensional, yaitu hubungan antara
kreditur dan debitur. Bagaimanapun juga kondisi yang terjadi sulit untuk
membenarkan teori tersebut, mengingat begitu pentingnya peranan transaksi
murabahah dalam perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan
melebihi 75 persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.
Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang terjadi
membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank dengan nasabah. Di
mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk membayar harga barang ditambah
jumlah mark-up secara angsuran, termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan
dalam kontrak. Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati
kontark jual beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang
nasabah kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan
antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan hubungan yang
terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional.
4. Penyelesaian Hutang
Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak murabahah
yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran) tidak jauh berbeda
dengan suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku bunga tetap pada perbankan
konvensional.
Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap sebagai
hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut sebagai bunga atau
laba serta jangka waktu pembayarannya pun ditetapkan. Perbedaan yang paling
jelas adalah hanya terletak pada kondisi ketika seorang debitu gagal melunasi
hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui sistem bunga
pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak
dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu membayar atau tidak.
Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian adanya, tergantung pada kondisi
ketidak-mampuan debitur dalam membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang
debitur tidak mampu melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi
kelonggaran (toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Qur’an
dalam surat al-Baqarah ayat 280. Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus
diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti adanya denda dan sebagainya atas waktu yang
diberikan untuk pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi,
sebagian besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah
mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut. Menurut mereka,
penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan celah kepada para
debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya, padahal mereka mampu
untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasinya mereka kemudian
mengadopsi konsep denda bagi debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat
waktu, khususnya untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah
untuk mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang
tepat pada waktunya. Namun, jika dilihat dari kegunaan
yang ada dari konsep denda yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama
dengan tujuan-tujuan praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank
konvensional, ketika hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas
hilangnya tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang
diinvestasikan). Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang
diberikan kepada para nasabahnya.
- Murabahah Dalam Perspektif Fatwa DSN
FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL TENTANG MURABAHAH[5]
Dewan
Syariah Nasional
Menimbang
:
a.
Bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank
berdasarkan pada prinsip jual beli;
b.
bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan
kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syariah perlu memiliki fasilitas
murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba;
c.
bahwa oleh karna itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang murabahah
untuk dijadikan pedoman oleh bank syariah.
Mengingat
:
1.
Firman Allah QS. An-Nisa’ (4): 29:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
2.
firman Allah QS. Al-Ma’idah (5): 1:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ô
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu...
3.
Hadis Nabi SAW :
Dari
Abu sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “sesungguhnya jual beli itu
harus dilakukan suka sama suka.”(HR. Al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai
shahih oleh ibnu Hibban).
4.
ijma’. Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara murabahah (Ibnu
Rusyd, Bidayah al-mujtahid, juz 2, hlm. 161; lihat pula al-kasani, bada’i
as-sana’i, juz 5, hlm. 220-222).
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
FATWA TENTANG MURABAHAH
Pertama
: ketentuan Umum Murabahah dalam bank Syariah
1.
Bank dan nasabah harus melakukan akad
murabahah yang bebas riba.
2.
Barang yang diperjual belikan tidak
diharamkan oleh syariah islam.
3.
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4.
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah
atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5.
Bank harus menyampaikan semua hal yang
berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada
nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya.
Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada
nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7.
Nasabah membayar harga barang yang telah
disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus
dengan nasabah.
9.
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : ketentuan murabahah kepada nasabah :
1.
Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian
pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2.
Jika bank menerima permohonan tersebut, ia
harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.
Bank kemudian menawarkan aset tersebut
kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai perjanjian yang
telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian
kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4.
Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta
nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan.
5.
Jika nasabah kemudian menolak membeli barang
tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.
Jika nilai uang muka kurang dari kerugian
yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya
kepada nasabah.
7.
Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun
sebagai alternatif dari uang muka, maka.
a.
Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang
tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b.
Jika nasabah batal membeli, uang muka
menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
Ketiga
: jaminan dalam murabahah:
1.
Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar
nasabah serius dengan pesanannya.
2.
Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan
jaminan yang dapat dipegang.
Keempat
: Utang dalam murabahah :
1.
Secara prinsip, penyelesaian uang nasabah
dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang
dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah
menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian,ia tetap
berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2.
Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum
masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3.
Jika penjualan barang tersebut menyebabkan
kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal.
Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu
diperhitungkan.
Kelima
: penundaan pembayaran dalam Murabahah :
1.
Nasabah yang memiliki kemampuan tidak
dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2.
Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan
sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbetrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakan
melalui musyawarah.
Keenam
: bangkrut dalam Murabahah :
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal
menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi
sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
- Analisis
Kegiatan investasi yang
dilakukan oleh sebagian besar dari bank Islam tampaknya hanya memperhatikan
kesesuaian kegiatannya dengan ajaran hukum Islam secara parsial (tidak utuh)
sebagaimana yang diterapkan dalam praktik pembiayaan murabahah. Bank-Bank Islam
menyatakan bahwa di dalam al-Quran perdagangan untuk mendapatkan laba
diperbolehkan, kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual beli dengan
keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan yang jelas
atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu kegiatan
penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan besar mark-up
untuk suatu kontrak murabahah.
Kaitannya dengan hal tersebut
ada kecenderungan bank Islam untuk menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang
umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial saja, yaitu
kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan tertentu dalam utang
piutang. Bank Islam tampaknya juga berargumen bahwa al-Quran ataupun Sunnah
tidak ada yang secara khusus menegaskan bahwa setiap tambahan karena adanya
tenggang waktu yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang terjadi dalam
kasus murabahah adalah riba.
Seorang pengamat perbankan
Islam memberikan cacatan bahwa bank-bank Islam termasuk mereka yang menjadi
dewan pengawasnya mengatakan bahwa pengharaman riba pada prinsipnya bukan
masalah ekonomi, tetapi pengharamannya adalah yang utama berdasarkan ketentuan
hukum yang ada. Yang diharamkan adalah semua keuntungan positif yang ditetapkan
di awal kontrak bagi pemilik modal dalam suatu transaksi finansial murni,
sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up untuk menentukan keuntungannya
bukan merupakan transaksi finansial murni.
Sering dikatakan bahwa teknik
mark-up atau batas laba dalam suatu transaksi perdagangan adalah bunga dengan
nama yang berbeda dan memang asumsi ini jika dilihat dari sudut pandang ekonomi
tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara keduanya. Perbedaannya adalah
hanya terletak pada permasalahan hukum dimana bunga adalah terkait dengan
kontrak utang piutang, sementara mark-up adalah identik dengan kontrak jual
beli atau penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak membuat batasan
laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki perbedaan yang
signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi pembiayaan yang berdasarkan
mark-up dalam murabahah tidak memiliki manfaat ekonomis yang lebih baik jika
dibandingkan dengan sistem pinjaman yang berbasis bunga kecuali jika dalam
pembiayaan murabahah harga yang disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran
tidak bisa dilakukan pada waktu yang ditentukan (tepat waktu)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Murabahah adalah suatu jenis
pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran tunda.
Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian
fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah
menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka dimana
barang-barang dilibatkan dan bank telah memperluas cakupan dan tingkat
penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh
puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan
keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan
keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.
Pembiayaan murabahah dan harga
kreditnya yang lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam
pembiayaan berbasis murabahah yang mendorong, meski secara tidak langsung,
kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Gambpang sekali dilupakan bahwa
mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan
terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah
dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial,
tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.
Bentuk
khusus kontrak keuangan yang sedang dikembangkan untuk menggantikan sistem
bunga dan transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil merupakan core product
bagi bisnis syariah sebab bisnis syariah secara eklisit melarang penerapan
tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya bentuk bisnis yang berdasarkan
syariah dapat dikembangkan dengan mengacu pada konsep syariah yaitu murabahah.
Murabahah
sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai bebrapa
ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka meningkat jalinan kerja sama dimana
bank membiayai pembelian yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran
ditangguhkan. Pembiayaan murabahah ini miri[ dengan kredit modal kerja pada
bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu
tahun dan seringnya untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti rumah,
tanah, toko, mobil, motor dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Bank islam Analisis Fiqih
dan keuangan, Karim, Adiwarman. jakarta: IIIT Indonesia.2003
Perkembangan Fatwa Ekonomi
Syariah di Indonesia, Mubarok,Jaih. Pustaka Bani Qusairy
Fiqih Muamalat, Gazali,Abdul
Rahman. Ed.1 Cet.1 Jakarta, Kencana dan ICCE. 2010
Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII
Press, 2005
Jusmaliani, dkk., (2005), Kebijakan Ekonomi dalam Islam,
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam Wa Adillatuhu,
yang diterjemahkan oleh Tim Counterpart Bank Muamalat, “Fiqh Muamalah
Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT. Bank Muamalah Perbankan Syari’ah”,
(Jakarta : PT.Bank Muamalah Indonesia, 1999)
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu
Pengenalan Umum, Cet. I (Jakarta : Tazkia Institute, 1999)
[3]
. Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Cet. I (Jakarta : Tazkia Institute, 1999), hal. 145.
[4] . Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu
al-Islam Wa Adillatuhu, yang diterjemahkan oleh Tim Counterpart
Bank Muamalat, “Fiqh
Muamalah Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT.
Bank Muamalah Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT.Bank Muamalah Indonesia,
1999), hal, 2 s/d 13
[5] .
Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah Indonesia, Jaih Mubarok, M.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar